DIMENSI KEMISKINAN DAN KEBIJAKAN PENANGGULANGAN DI KALIMANTAN TIMUR
1.1. Perkembangan Kemiskinan
Pengentasan
kemiskinan di Kalimantan Timur merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari pembangunan sumberdaya manusia, disamping pembangunan infrastruktur
dan pertanian dalam arti luas. Selama ini berbagai upaya telah
dilakukan untuk mengurangi kemiskinan melalui penyediaan kebutuhan
pangan, layanan kesehatan dan pendidikan, perluasan kesempatan kerja,
pembangunan pertanian, pemberian dana bergulir, pembangunan sarana dan
prasarana, dan pendampingan. Berbagai upaya tersebut telah berhasil
menurunkan jumlah penduduk miskin di Kalimantan Timur dari 20,50 % di
tahun 2006 menjadi 7,66 % kondisi bulan Maret tahun 2010.
Grafik 1.1. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin dan Tingkat Kemiskinan di Kalimantan Timur Tahun 2006-2010
Pada tahun 2010 jumlah warga miskin di
perkotaan sebanyak 79.240 jiwa atau 4,02 persen, sementara di daerah
pedesaan juga masih lebih tinggi yakni 163.760 jiwa atau 13,66 persen.
Besar kecilnya jumlah penduduk miskin dipengaruhi Garis Kemiskinan.
Masyarakat miskin perdesaan dihadapkan
pada masalah rendahnya mutu sumberdaya manusia, terbatasnya pemilikan
lahan, banyaknya rumah tangga yang tidak memiliki asset, terbatasnya
alternatif lapangan kerja, belum tercukupinya pelayanan publik,
degradasi sumber daya alam dan lingkungan hidup, lemahnya kelembagaan
dan organisasi masyarakat, dan ketidakberdayaan dalam menentukan harga
produk yang dihasilkan.
Di sisi lain, masalah kemiskinan di
daerah perkotaan juga perlu mendapat perhatian. Krisis ekonomi yang
pernah melanda memperlihatkan masyarakat kota masih rentan untuk jatuh
ke bawah garis kemiskinan. Persentase penduduk miskin di perkotaan juga
cenderung terus meningkat. Pada umumnya masyarakat miskin perkotaan
menjalani pengalaman kemiskinan yang berbeda dengan penduduk miskin
perdesaan. Mereka lebih sering mengalami keterisolasian dan perbedaan
perlakuan dalam upaya memperoleh dan memanfaatkan ruang berusaha,
pelayanan administrasi kependudukan, air bersih dan sanitasi, layanan
pendidikan dan kesehatan, serta rasa aman dari tindak kekerasan. Pada
umumnya masyarakat miskin di perkotaan bekerja sebagai buruh dan sektor
informal yang tinggal di pemukiman yang tidak sehat dan rentan terhadap
penggusuran.
Kemiskinan di Kalimantan Timur juga
ditandai oleh adanya ketimpangan antar wilayah. Kemiskinan di kawasan
perbatasan, pedalaman dan tertinggal jumlah penduduk miskin cukup
tinggi. Masyarakat miskin di kawasan pesisir dan kawasan tertinggal
menghadapi permasalahan yang sangat khusus. Mereka umumnya
menggantungkan hidup dari pemanfaatan sumberdaya laut dan pantai yang
membutuhkan investasi besar, sangat bergantung musim, dan rentan
terhadap polusi dan perusakan lingkungan pesisir. Mereka hanya mampu
bekerja sebagai nelayan kecil, buruh nelayan, pengolah ikan skala kecil
dan pedagang kecil karena memiliki kemampuan investasi yang sangat
kecil. Nelayan kecil hanya mampumemanfaatkan sumberdaya di daerah
pesisir dengan hasil tangkapan yang cenderung terus menurun akibat
persaingan dengan kapal besar dan penurunan mutu sumberdaya pesisir.
Hasil tangkapan juga mudah rusak sehingga melemahkan posisi tawar mereka
dalam transaksi penjualan.
Masyarakat di daerah tertinggal dan
komunitas adat terpencil seringkali menghadapi keterisolasian fisik,
keterbatasan sumberdaya manusia dan kelangkaan prasarana dan sarana.
Kondisi ini menyebabkan mereka tidak mampu memanfaatkan sumberdaya dan
mengembangkan kegiatan ekonomi secara optimal. Keterisolasian dalam
waktu yang lama cenderung menyebabkan apatisme masyarakat miskin.
Kurangnya pelayanan pendidikan dan kesehatan juga menyebabkan rendahnya
kemampuan dan keterampilan masyarakat.
1.2. Kondisi Kemiskinan
Jika dilihat dari perkembangan jumlah penduduk miskin di Kalimantan Timur secara keseluruhan sejak tahun 2006 sampai tahun 2009 cenderung menurun, dan secara nasional Kalimantan Timur menempati urutan ke 5 (lima) jumlah penduduk miskin yang paling sedikit. Akan tetapi jika dilihat dari distribusi perkembangan di masing-masing kabupaten/kota, terdapat 7 (tujuh) kabupaten/kota yang mengalami kecenderungan peningkatan penduduk miskin yaitu kabupaten Berau, Nunukan, Penajam Paser Utara, Tana Tidung, kota Balikpapan, Samarinda dan Bontang. Penduduk miskin kabupaten/kota yang berada diatas rata-rata nasional adalah kabupaten Malinau, Bulungan dan Tana Tidung, serta terdapat 10 (sepuluh) kabupaten/kota yang berada diatas rata-rata provinsi.Perbandingan Tingkat Kemiskinan Menurut Kabupaten Kota, Rata-Rata Provinsi dan Nasional, Tahun 2009
1.3. Faktor Penyebab Kemiskinan di Kalimantan Timur
Walaupun terjadi penurunan tingkat
kemiskinan di Kalimantan Timur, namun berbagai pengentasankemiskinan
masih perlu segera dituntaskan. Berbagai isu pokok permasalahan dalam
pembangunan daerah antara lain:
a. Kemandirian dan Kedaulatan Pangan
Kondisi geografis wilayah Kalimantan Timur yang sangat luas belum secara optimal
dimanfaatkan untuk pengembangan sektor
pertanian pangan. Kebutuhan pangan Kaltim masih diimpor dari daerah lain
dan kerawanan pangan kerap terjadi pada musim kemarau terutama di
daerah pedalaman. Di masa mendatang, seiring dengan perkembangan
penduduk, Kalimantan Timur akan menghadapi tantangan dalam pemenuhan
kebutuhan pangan akan semakin meningkat.
b. Pengangguran
Walaupun memiliki potensi sumber daya alam yang besar dan merupakan salah satu
daerah penyumbang devisa negara,
Kalimantan Timur masih menghadapi permasalahan pengangguran.
Ketersediaan lapangan pekerjaan lebih rendah dibandingkan dengan jumlah
pencari kerja yang semakin meningkat setiap tahun.
c. Keterbatasan Akses Permodalan
Masyarakat Kaltim masih mengalami
kesulitan akses terhadap sumber permodalan, terutama usaha masyarakat
yang berada pada kabupaten pemekaran. Sebagian besar jasa layanan
perbankan berada di empat kota yang telah berkembang pesat.
d. Reformasi Birokrasi/Pelayanan Publik
Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan, semua jenjang pemerintahan (pusat, provinsi dan
kabupaten/kota) belum sepenuhnya berorientasi kepada peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Namun, pelaksanaan otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal masih menghadapi berbagai permasalahan
administrasi dan prosedural yang belum tuntas terpecahkan. Dalam dimensi
kewenangan, berbagai peraturan perundang undangan masih belum konsisten
dengan UU No. 32/2004.
Otonomi daerah tidak berjalan maksimal
karena adanya kecenderungan bahwa UU sektoral sama kuatnya dengan UU
Otonomi Daerah. Pembagian wewenang dan urusan antar tingkat pemerintahan
yang belum jelas berdampak pada permasalahan skala ekonomi,
eksternalitas dan efisiensi, serta koordinasi. Permasalahan pembagian
kewenangan dan urusan juga tercermin dalam rumitnya pemberian perijinan
dan penanganan masalah yang bersifat lintas daerah. Sistem pelayanan
pemerintah daerah masih belum mendukung peningkatan mutu dan jangkauan
layanan publik. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi logis dari berbagai
permasalahan yang ada seperti belum berjalannya tugas pokok dan fungsi
pelayanan secara optimal, belum jelasnya pembagian kewenangan dan urusan
antar tingkat pemerintahan, lemahnya manajemen kepegawaian, dan
lemahnya fungsi kontrol.
e. Degradasi Mutu Lingkungan
Degradasi mutu lingkungan di Kalimantan
Timur telah menjadi masalah nasional dan bahkan dunia internasional.
Kerusakan hutan akibat pengelolaan yang tidak terkendali maupun akibat
kebakaran di musim kemarau semakin memperburuk mutu lingkungan hidup.
Penurunan Kualitas Lingkungan diindikasikan oleh banjir dan tanah
longsor yang kerap melanda di beberapa bagian wilayah serta penurunan
potensi sumber daya perikanan di daerah pesisir dan laut. Hal tersebut
berpengaruh terhadap kegiatan ekonomi masyarakat terkait dengan
pendapatan di bidang pertanian dalam arti luas.
f. Daya Saing dan Iklim Investasi
Secara umum peningkatan investasi di Kaltim berjalan lambat, dan masih didominasi
oleh sektor industri dan pertambangan
migas. Selain itu, di sektor perkebunan terdapat komoditas unggulan yang
memiliki daya saing seperti kakao, sawit, kelapa dan karet, yang masih
belum dikembangkan secara optimal. Permasalahan yang dihadapi terkait
dengan regulasi, keterbatasan infrastruktur dan ketidakjelasan tata
ruang untuk pengembangan lokasi investasi.
g. Pendidikan dan Pelayanan Kesehatan
Secara umum rekor pembangunan sumber daya manusia Kalimantan Timur yang
ditunjukkan oleh indeks pembangunan
manusia berada di atas rata-rata nasional. Namun permasalahan yang
dihadapi adalah masih rendahnya kualitas SDM yang tercermin dari sekitar
40,73 % usia produktif berpendidikan tidak tamat dan tamat Sekolah
Dasar. Demikian pula keterbatasan pelayanan kesehatan terutama pada
daerahdaerah perbatasan, pedalaman dan tertinggal.
h. Infrastruktur
Masih terbatasnya akses penduduk terhadap pelayanan transportasi, perumahan, air
bersih, dan sanitasi dasar, serta fasilitas pengendalian banjir dan pengendalian penyakit menular.
i. Pembangunan Perbatasan, Pedalaman dan Daerah Tertinggal
Disparitas terjadi antara daerah pesisir
laut dan daerah perbatasan, pedalaman dan daerah tertinggal. Disparitas
terjadi karena perbedaan perkembangan sosial ekonomi, dan potensi
sumberdaya alam, sumber daya manusia maupun sumber daya buatan
(infrastruktur) .
1.4. Perkembangan Dimensi Kemiskinan
1.4.1 Bidang Kesehatan
Masyarakat miskin menghadapi masalah
keterbatasan akses layanan kesehatan dan rendahnya status kesehatan yang
berdampak pada rendahnya daya tahan mereka untuk bekerja dan mencari
nafkah, terbatasnya kemampuan anak dari keluarga untuk tumbuh dan
berkembang, dan rendahnya derajat kesehatan ibu. Penyebab utama dari
rendahnya derajat kesehatan masyarakat miskin selain kurangnya kecukupan
pangan adalah keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan dasar,
rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap
perilaku hidup sehat, rendahnya pendapatan dan mahalnya biaya jasa
kesehatan, serta kurangnya layanan kesehatan reproduksi.
Salah satu indikator dari terbatasnya
akses layanan kesehatan dasar adalah angka kematian bayi, angka kematian
balita, angka kematian ibu melahirkan, prevalensi Balita dengan Gizi
buruk, dan angka harapan hidup. Data statistik menunjukkan bahwa angka
kematian bayi (AKB) pada tahun 2009 masih 23,2 per 1.000 kelahiran hidup
dan cenderung menurun dari 33 per 1000 kelahiran hidup sejak tahun
2003. Namun, penurunan tersebut relatif lambat. Angka kematian balita
cenderung meningkat, pada tahun 2003 sebesar 34 per 1.000 kelahiran
hidup menjadi 38 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2009. Sedangkan
angka kematian ibu melahirkan cenderung menurun dari 302 per 100.000
kelahiran hidup pada tahun 2003 menjadi 110 per 100.000 kelahiran hidup
pada tahun 2009. Akan tetapi angka harapan hidup mengalami peningkatan
dari 69,8 tahun pada tahun 2003 menjadi 71,35 pada tahun 2009.
1.4.2. Bidang Pendidikan
Tingginya biaya pendidikan menyebabkan
akses masyarakat miskin terhadap pendidikan menjadi terbatas. Sesuai
dengan ketentuan, biaya SPP dari jenjang SD/MI sampai SLTA/MAN telah
secara resmi dihapuskan. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat
tetap harus membayar berbagai iuran sekolah seperti pembelian buku, alat
tulis, pakaian seragam, sepatu seragam, dan bimbingan pelajaran
tambahan. Berbagai iuran tersebut menjadi penghambat bagi masyarakat
miskin untuk menyekolahkan anaknya.
Masalah lain yang dialami oleh siswa
terutama di daerah perdesaan adalah kekurangan kalori dan kekurangan
gizi yang mengakibatkan rendahnya daya tahan belajar dan semangat
belajar siswa. Dalam jangka panjang, hal ini berpengaruh terhadap
kemungkinan anak untuk putus belajar, mengulang kelas dan tidak mau
sekolah. Pendidikan formal belum dapat menjangkau secara merata seluruh
lapisan masyarakat. Hal ini ditunjukkan oleh adanya kesenjangan antara
penduduk kaya dan penduduk miskin dalam partisipasi pendidikan baik
diukur dari Angka Putus Sekolah, Angka Partisipasi Kasar (APK) maupun
Angka Partisipasi Murni (APM). Tanpa bekal pendidikan yang memadai,
mereka akan sulit untuk keluar dari jebakan kemiskinan dan menghindarkan
diri dari lingkaran kemiskinan.
1.4.3. Bidang Perumahan
Tempat tinggal yang sehat dan layak
merupakan kebutuhan yang masih sulit dijangkau oleh masyarakat miskin.
Dalam berbagai diskusi dengan masyarakat, kondisi perumahan merupakan
ciri utama yang paling sering dipakai dalam mengenali penduduk miskin,
dan gejala ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam pemenuhan hak atas
permukiman yang layak.
Secara umum, masalah utama yang dihadapi
masyarakat miskin adalah terbatasnya akses terhadap perumahan yang sehat
dan layak, rendahnya mutu lingkungan permukiman dan lemahnya
perlindungan atas pemilikan perumahan.
Masalah perumahan yang dihadapi oleh
masyarakat miskin di perkotaan berbeda dengan masyarakat miskin yang
berada di perdesaan. Di perkotaan, keluarga miskin sebagian besar
tinggal di perkampungan yang berada di balik gedung-gedung pertokoan dan
perkantoran, dalam petak-petak kecil, saling berhimpit, tidak sehat dan
seringkali dalam satu rumah ditinggali lebih dari satu keluarga.
Keluarga miskin di perkotaan juga sering dijumpai tinggal di pinggiran
sungai.
1.4.4. Bidang Ekonomi
Berdasarkan persentase PDRB perkapita
secara garis besar pendapatan perkapita penduduk Kaltim mengalami
peningkatan dari Rp. 25,7 juta per tahun pada tahun 2006 menjadi Rp.
34,2 juta pertahun pada tahun 2009 dan 10,10 % pada tahun 2010. Daerah
dengan kondisi pemerataan PDRB perkapita yang tinggi diikuti oleh
persentase penduduk miskin lebih rendah dari rata-rata nasional adalah
Kota Balikpapan. Gambaran yang ekstrim terjadi pada daerah dengan
kapasitas fiskal yang termasukSedangkan kondisi yang wajar terjadi di
Kota Tarakan, Bontang dan Kabupaten Berau.
Masyarakat miskin umumnya menghadapi
terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, terbatasnya peluang untuk
mengembangkan usaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan
perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja
anak dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu
rumahtangga. Keterbatasan modal, kurangnya keterampilan, dan
pengetahuan, menyebabkan masyarakat miskin hanya memiliki sedikit
pilihan pekerjaan yang layak dan peluang yang sempit untuk mengembangkan
usaha.
Terbatasnya lapangan pekerjaan yang
tersedia saat ini seringkali menyebabkan mereka terpaksa melakukan
pekerjaan yang beresiko tinggi dengan imbalan yang kurang memadai dan
tidak ada kepastian akan keberlanjutannya. Kondisi ketenagakerjaan pada
tahun 2008 sebesar 144.798 org menunjukkan adanya perbaikan. Angka
pengangguran terbuka selama 5 tahun terakhir terus menurun. Menurut data
Sakernas, pengangguran terbuka cenderung mmenurun dari 12,07 % dari
jumlah angkatan kerja pada tahun 2007 menjadi sekitar 11,41 % di tahun
2008, 10,83 % pada tahun 2009 dan 10,45 di tahun 2010.
Rekomendasi
Dalam rangka percepatan pengentasan Kemiskinan melalui program yang terintegrasi direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut :
Menegaskan komitmen lembaga negara,
pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota,
lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, pelaku usaha,
lembaga internasional, dan pihak yang peduli untuk memecahkan masalah
kemiskinan;
Membangun konsensus bersama untuk
mengatasi masalah kemiskinan melalui pendekatan hak-hak dasar dan
pendekatan partisipatif dalam perumusan strategi dan kebijakan;
Mendorong sinergi berbagai upaya
penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah pusat,
pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, lembaga swadaya
masyarakat, organisasi kemasyarakatan, pelaku usaha, lembaga
internasional, dan pihak yang peduli;
Menegaskan komitmen dalam mendukung pencapaian tujuan pembangunan milenium (Millennium Development Goals) terutama tujuan penanggulangan kemiskinan;
Tersinerginya kegiatan lintas sektor
yang mempunyai komitmen untuk mempercepat pemecahan masalah kemiskinan
dengan peningkatan peran Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah
(TKPD) yang ditetapkan melalui Keputusan Kepala Daerah.
Rencana Penanggulangan Kemiskinan di Kalimantan Timur Tahun 2011-2013
Dalam upaya harmonisasi dan koordinasi
berbagai program terkait penanggulangan kemiskinan Kalimantan Timur,
program kegiatan dikelompokkan ke masing-masing klaster.
1. Program Terkait Bantuan dan Perlindungan Sosial
Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JAMKESMAS).
Program Wajib Belajar 12 Tahun
Program Pendidikan Menengah
Program Pendidikan Nonformal
Bantuan Operasional Sekolah
Program Keluarga Harapan
Program Beras Untuk Rumah Tangga Miskin (RASKIN)
Bantuan Kesejahteraan Sosial
2. ProgramTerkait Pemberdayaan Masyarakat
Program Pengembangan Kecamatan (PPK)
Program Pemberdayaan Fakir Miskin Melalui Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (PPFM-BLPS)
Program Pembentukan Kelompok Usaha Produktif (KUP) dan Pemberdayaan dan Perlindungan Masyarakat Rentan Lainnya (PPMR)
Program Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Areal Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) HTI Melalui Kemitraan
Program Pembangunan Hutan Rakyat
Program Pengembangan Wilayah Perbatasan (PWP) dan Program Pengembangan Wilayah Tertinggal (PWT)
Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH)
Perkotaan
Program Fasilitasi Pengembangan Destinasi Pariwisata Unggulan
Program Peningkatan Pemberdayaan masyarakat Perdesaan (P3MP)
Program Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga
Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK)
Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP)
Program Pengembangan Infrastruktur Pedesaan (PPIP)
Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)
Program Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah/RISE
Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir
Program Model Desa Prima Perempuan Indonesia Maju Mandiri)
3. Program Terkait Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil
Program Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil
Program Peningkatan Ketahanan Pangan (PKP)
Program Peningkatan Ekonomi Masyarakat di Sekitar Kawasan Konvensi
Program Peningkatan Usaha Masyarakat di Sekitar Hutan Produksi (PUMSHP)
Program Hutan Kemasyarakatan (HKM)
Program Peningkatan Kualitas dan Produktifitas Tenaga Kerja (PPLTK)
Program Penciptaan Iklim Usaha Bagi UKM
Program Pengembangan Sistem Pendukung Usaha Bagi UKM
Program Pengembangan Kewirausahaan dan Keunggulan Kompetitif UKM
Sumber:
http://www.bappedakaltim.com/file-upload/BUKU%20CAPAIAN%20KEMISKINAN%202010.pdf
Anggota :
Novice Lebrie Sagilitany (25211246)
Arinda Pramesti (29211380)
Rina Mardiani (26211221)
Sebelum membicarakan mengenai pengeluaran
pemerintah di sektor pertanian dan kesehatan, sebaiknya kita awali
dengan membicarakan apa pengertian dari kebijakan fiskal.
Kebijakan Fiskal
Kebijakan Fiskal adalah bentuk campur
tangan pemerintah dalam perekonomian dan pembangunan ekonomi suatu
negara. Kebijakan fiskal memiliki dua instrumen pokok yaitu : perpajakan
(tax policy) dan pengeluaran (expenditure policy)
(Mankiw,2003;Turnovsky,1981). Dengan instrumen tersebut dapat dijelaskan
bagaimana pengaruh penerimaan dan pengeluaran negara terhadap kondisi
perekonomian, tingkat pengangguran, dan inflasi.
Peran Kebijakan Fiskal di Indonesia
Wuryanto (1996) dengan model
Interregional CGE menjelaskan desentralilasi fiskal dan performa
perekonomian di Indonesia (periode sebelum otonomi daerah) dimana
transfer fiskal dalam bentuk INPRES dapat memperbaiki kinerja ekonomi
nasional dan antar daerah di Indonesia.
Kebijakan Fiskal bagi Sektor Pertanian
Yudhoyono (2004) dengan model simultan
menyimpulkan bahwa ekonomi politik dalam kebijakan fiskal sangat penting
di Indonesia dalam mendorong pembangunan pertanian, pengurangan
kemiskinan dan perekonomian pedesaan.Revitalisasi pertanian dapat
dijadikan penggerak pertumbuhan ekonomi.
Pengeluaran Pemerintah Indonesia untuk Pembangunan Sektor Pertanian
Pemerintah Indonesia sampai periode
1980an telah memposisikan pertanian sebagai sektor penting dalam
perekonomian. Selama dua dekade lebih pembangunan pertanian menjadi
prioritas pokok dalam pembangunan. Komitmen kuat pemerintah dalam
pembangunan pertanian tersebut diwujudkan dalam belanja publik untuk
pertanian, subsidi, kebijakan harga pada tanaman pangan, deregulasi pada
perdagangan dan pemasaran, pembangunan irigasi. kelembagaan/kesisteman
pertanian, revitalisasi penyuluhan dan tata guna lahan (Muslim,2002).
Pengeluaran pemerintah untuk sektor
pertanian dapat berupa penyediaan bibit, subsidi pupuk, teknologi,
bantuan sosial dalam lingkup kegiatan pengolahan dan pemasaran hasil
pertanian, dan infrastruktur pedesaan (irigasi, transportasi, sarana da
prasarana pedesaan).
Penurunan intensitas kebijakan pertanian
di dunia yang ditandai dengan perubahan marjinal dalam program
pertanian(Scrimgeour and Pasour,1996) juga terjadi di Indonesia.
Pertanian semakin menurun secara tidak wajar sehingga sejak pertengahan
1990-an pertanian tidak mampu lagi menjadi pendukung tumbuh kembangnya
perekonomian Indonesia.Jika dalam pembangunan pertanian di Indonesia
peran pemerintah masih dipersyaratkan, maka penurunan tersebut lebih
dikarenakan menurunnya dukungan pemerintah dalam belanja pembangunan
(investasi publik) untuk sektor pertanian.Subsidi pertanian di Indonesia
secara keseluruhan masih merupakan bagian intervensi pemerintah yang
efektif untuk mengarahkan perbaikan produksi pertanian.
Di Cina, dari studi Fan and Zhang (2002)
menemukan korelasi yang sangat kuat antara belanja publik untuk
penelitian sektor pertanian dan infrastruktur pedesaan dengan
pertumbuhan produktivitas pertanian. Di Indonesia, kemandegan dalam
penelitian pengembangan teknologi pertanian menyebabkan terjadinya
pelandaian pertumbuhan produktivitas komoditi pertanian untuk hampir
semua varietas. Ditambah lagi lahan yang semakin sempit sehingga
produksi pertanian menurun semakin tajam.
Pengeluaran pemerintah untuk sektor
pertanian sangat dibutuhkan demi keberlangsungan perokonomian dan
pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hal ini sangat penting mengingat
Indonesia adalah negara kaya akan sumber daya alam. Kenyataannya masih
banyak komoditi pertanian yang di impor dari luar. Untuk itu, Pemerintah
harus berusaha untuk membangun kembali pertanian indonesia yang telah
mengalami kemunduran saat ini.
Pengeluaran Pemerintah Sektor Kesehatan
Kesehatan di Indonesia
Besarnya jumlah penduduk indonesia serta
susunan distribusinya sangat berpengaruh pada derajat kesehatan
masyarakat. Hal demikian jelas berpengaruh pada terhadap berbagai
permasalahan dan upaya kesehatan.
Tingkat pendidikan yang masih rendah,
disamping tingkat penghasilan yang pada umumnya masih rendah merupakan
faktor yang menghambat upaya menggerakkan potensi masyarakat untuk
berperan serta dalam pembangunan kesehatan. Terbatasnya tingkat
pendidikan, kurangnya ketrampilan dasar yang dimiliki kaum wanita,
terutama di pedesaan, juga berpengaruh terhadap kurangnya kesadaran akan
manfaat pemeliharaan kesehatan., khususnya yang menyangkut kesehatan
ibu dan anak.
Deklarasi Alma Ata (1978) di Khazahktan
Uni Soviet yang dihadiri negara-negara di Dunia termasuk Indonesia,
telah disepakati delapan unsur pokok sebagai upaya pemerataan kesehatan,
dan juga sebagai pelayanan pelaksanaannya, yaitu pendidikan kesehatan,
pencegahan dan pengendalian permasalahan kesehatan, promosi gizi
masyarakat, penyediaan air bersih dan sanitasi yang baik, kesehatan ibu
dan anak termasuk keluarga berencana, imunisasi, pencegahan dan
pengendalian penyakit menular, pengobatan yang tepat terhadap penyakit
serta pengadaan obat-obatan.
Berdasarkan delapan unsur pokok diatas
dapat diketahui bahwa Indonesia masih jauh dari pemerataan kesehatan.
Namun, hal ini sudah seharusnya untuk terus diupayakan. Pemerintah
harus dapat melakukan pemerataan kesehatan ini. Pengeluaran pemerintah
pada sektor kesehatan harus dialokasikan, dimanfaatkan, dan dirasakan
langsung dampak positifnya oleh masyarakat. Semua itu juga harus
dibarengi oleh upaya peningkatan pendidikan di Indonesia sehingga
kesadaran masyarakat akan kesehatan bisa lebih ditingkatkan lagi.
Pengeluaran Pemerintah Sektor Kesehatan
Pola pengeluaran dan pembiayaan kesehatan
di Indonesia menunjukkan karakteristik yang kompleks. Arus dana dalam
sektor ini mengalir dari berbagai sumber-sumber yang paling besar dan
utama adalah dari pemerintah yang dibayar oleh rumah tangga, sumbangan
pegawai untuk perawatan kesehatan pekerja dan bantuan asing.
Pengeluaran kesehatan nasional yaitu
semua pembayaran untuk perawatan kesehatan individual, biaya
administrasi dari program kesehatan non-profit pemerintah, biaya bersih
dari asuransi kesehatan, pengeluaran pemerintah untuk promosi kesehatan
dan pencegahan penyakit, pendidikan personel kesehatan, penelitian
kesehatan, dan pembangunan fasilitas kesehatan.
Sumber :
Agriculture
Pedoman Bantuan sosial Ditjen PPHP Tahun 2012
Health
http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/downloadDatabyId/272017/11_01858.pdf
Anggota :
Novice Lebrie Sagilitany (25211246)
Arinda Pramesti (29211380)
Rina Mardiani (26211221)
Korupsi bukan penyakit, namun suatu gejala rusaknya sistem akuntabilitas
Novice Lebrie Sagilitany (25211246)
Arinda Pramesti (29211380)
Rina Mardiani (26211221)
Korupsi bukan penyakit, namun suatu gejala rusaknya sistem akuntabilitas
Korupsi merupakan
gejala kegagalan akuntabilitas.
Mencerminkan insentif yang berlaku di mana manfaat
dari korupsi yang tinggi dan risiko tertangkap
atau sedang dihukum karena korupsi rendah. Masa
lalu melemparkan bayangan besar atas hadir di Indonesia. Banyak praktek-praktek yang
berlaku selama berlanjut Orde Baru. Ini termasuk pengoperasian yayasan, bisnis,
di samping, oleh militer
dan polisi, dan pengumpulan biaya informal
dan retribusi, kurangnya transparansi gaji dan
tunjangan.
Kartono
(1983) memberi batasan korupsi sebagai tingkah laku individu yang menggunakan
wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, dan atau merugikan
kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus
dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber
kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan- kekuatan formal
(misalnya dengan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri
sendiri. Dengan pernyataan lain korupsi
adalah adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat
atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau
keluarga, sanak saudara, dan teman.
Juniadi Suwartojo (1997) menyatakan bahwa korupsi ialah
tingkah laku atau tindakan seseorang atau lebih yang melanggar norma-norma yang
berlaku dengan menggunakan dan/atau menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan
melalui proses pengadaan, penetapan pungutan penerimaan atau pemberian
fasilitas atau jasa lainnya yang dilakukan pada kegiatan penerimaan dan/atau
pengeluaran uang atau kekayaan, penyimpanan uang atau kekayaan serta dalam
perizinan dan/atau jasa lainnya dengan tujuan keuntungan pribadi atau
golongannya sehingga langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan
dan/atau keuangan negara/masyarakat.